1. Apa maksud Yesus mengatakan “Inilah ibumu” di Yohanes 19:27?
Perkataan ini disampaikan kepada Yohanes, sewaktu Tuhan Yesus berada di kayu salib. Perkataan ini sebenarnya satu rangkaian dengan perkataan sebelumnya yaitu “Ibu, inilah anakmu!”. Melalui perkataan ini, Yesus menunjukkan perhatian sekaligus tanggung jawab-Nya kepada Maria sebagai ibu-Nya. Ia meminta Yohanes untuk menganggap dan memperlakukan Maria sebagai ibunya. Dia menghubungkan Maria dan Yohanes sebagai keluarga yang baru.
Kalau kita mengikuti penafsiran bahwa Yusuf telah meninggal dunia pada waktu itu, maka perkataan ini ini menjadi lebih kuat, karena Maria akan hidup sebagai janda yang tidak lagi memiliki seorang laki-laki di rumahnya, yang akan menopang penghidupannya. Dengan mempercayakan Maria kepada Yohanes, Yesus memastikan bahwa Maria akan memiliki perlindungan dan perawatan.
Jadi, perkataan ini menunjukkan bahwa di tengah penderitaan yang Dia hadapi, Yesus tetap memperhatikan kesusahan orang di sekitarnya.
Lebih jauh, banyak penafsiran yang mengusulkan bahwa ini adalah gagasan betapa pentingnya keluarga Rohani yang melampaui hubungan darah dan daging. Juga ada yang memandang ini adalah petunjuk agar Maria menjadi ibu Rohani bagi para murid dan orang beriman di generasi berikutnya. Sekalipun penafsiran itu tidak terlalu mengganggu, namun bukan petunjuk yang sangat nyata dari teks itu sendiri.
2. Apa khotbah hari ini berarti self-care ketika menghadapi penderitaan itu salah? Misalnya dengan mengambil waktu untuk menyendiri, curhat kepada orang terdekat, atau mengeluh kepada Tuhan dalam doa. Seringkali sulit untuk tidak mengeluh apalagi untuk memperhatikan orang lain saat menghadapi pergumulan yang berat.
Tentu saja teks di Yohanes 19:26-27 tidak sedang melarang orang untuk self-care saat menghadapi penderitaan. Penekanan dari teks ini adalah: di tengah penderitaan yang luar biasa, Yesus tetap menunjukkan kasih dan perhatian kepada orang lain.
Kalau kita mencermati kisah penyaliban tersebut, Yesus pun tidak berusaha menekan penderitaan pribadi-Nya. Dengan jujur Dia berkata “Aku haus” dan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Ini bukan sikap sedang egois atau tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Jadi, mengambil waktu untuk menyendiri, berbicara dengan orang terdekat, atau mengungkapkan pergumulan kepada Tuhan bukanlah hal yang salah. Bahkan hal-hal ini akan menolong kita menemukan kekuatan kembali dan kemudian dimampukan untuk mempedulikan mereka yang sedang atau ikut susah, di sekitar kita.
Misalnya, kalau seorang suami sebagai pencari nafkah utama diberhentikan dari pekerjaan, tentu wajar kalau ia bersedih, curhat kepada orang terdekat dan kepada Tuhan. Yang diharapkan adalah: dengan menemukan kekuatan serta penghiburan, ia diharapkan dapat menghibur dan menguatkan seluruh anggota keluarga yang turut bersedih. Ia tidak boleh tenggelam dalam kesedihan dan terus menerus mengasihani diri sendiri sehingga ia menyeret seluruh keluarga dalam kedukaan dan keputusasaan yang mendalam.
Kita bisa belajar bagaimana dalam situasi sulit kita masih mampu berbagi kasih dan perhatian kepada orang lain.
3. Sehubungan dengan ayat khotbah hari ini di Yoh.19:26-27, Alkitab Terjemahan Lama (TL) memakai kata PEREMPUAN di ayat 26 (“Hai perempuan, tengoklah anakmu!”). Ini sama dengan semua terjemahan Alkitab lainnya (NIV, KJV, ESV, NASB, dll) yang memakai kata WOMAN di ayat ini (“Woman, here is your son”). Mengapa Alkitab TB dan juga TB2 mengganti kata ini dengan kata IBU (MOTHER)?”
Secara jujur, saya tidak tahu alasan pasti LAI memilih menerjemahkan kata “woman” menjadi “Ibu”. Saya hanya bisa menduga beberapa hal.
Sejauh ini, ada 2 pendekatan dalam menerjemahkan Alkitab. Yang pertama adalah Literal (kata per kata): Menjaga kata asli setepat mungkin. Yang kedua adalah: Secara Dinamis (Dynamic Equivalence), menerjemahkan dengan mempertimbangkan konteks dan pemahaman setempat – mengutamakan kesamaan makna.
Rasanya pendekatan kedua inilah yang dipilih oleh LAI. Hal ini dipandang sebagai pilihan yang wajar. Ada juga terjemahan Bahasa Inggris yang memakai kata mother dan bukan woman.
Hal ini sangat mungkin berkaitan dengan konteks dari pembaca modern. Dalam bahasa Yunani kuno dan konteks budaya Yahudi saat itu, panggilan “gynai” (Perempuan) tidak bersifat kasar atau kurang hormat. Sebaliknya, ini adalah panggilan umum yang bisa menunjukkan rasa hormat, serupa dengan kata “Nyonya” atau “Ibu” dalam budaya kita saat ini.
Tentu saja dalam konteks saat ini, memanggil Ibu kita dengan kata “Perempuan” akan terdengar kurang sopan bahkan terkesan kasar. Jadi kata Ibu dipilih oleh LAI supaya sesuai dengan konteks kekinian. Pilihan ini menunjukkan bagaimana penerjemah mempertimbangkan nuansa budaya dan bahasa dalam menyampaikan makna teks asli kepada pembaca dalam bahasa yang berbeda.